Bertawakallah Jika Engkau Beriman!
Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi (Pengajar
Ma’had Ilmi)
وَعَلَى اللّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan bertawakallah hanya kepada Alloh jika
engkau beriman.” (QS Al Maaidah: 23)
Tawakal adalah bersandar kepada Alloh
Subhanahu wa Ta’ala dalam rangka meraih apa yang diinginkan dan menolak hal-hal
yang tidak disukai dengan dilandasi rasa percaya sepenuhnya kepada Alloh, serta
dengan menempuh cara-cara yang diperbolehkan oleh syariat dalam rangka
mewujudkannya. Untuk bisa mewujudkannya diperlukan dua hal, yaitu:
1. Bersandar kepada Alloh dengan
sungguh-sungguh.
2.
Menempuh cara-cara yang diperbolehkan untuk melaksanakan keinginannya.
Barang
siapa yang terlalu banyak bersandar kepada cara yang ditempuh maka tawakalnya
kepada Alloh semakin berkurang. Sehingga hal ini membuatnya secara tidak
langsung mencela kekuasaan Alloh untuk bisa mengatasi segala problema. Yaitu
tatkala seorang hamba menjadikan seolah-olah hanya cara itulah yang menjadi
inti keberhasilan, agar apa yang diinginkan tercapai dan apa yang tidak disukai
hilang. Dan barang siapa yang membuat tawakalnya kepada Alloh menyebabkan
dirinya melalaikan cara maka sesungguhnya ia telah mencela hikmah Alloh. Karena
Alloh menciptakan segala sesuatu memiliki sebab musabab. Sehingga orang yang
semata-mata bersandar kepada Alloh tanpa mau menjalani sebab maka tindakan
tersebut merupakan bentuk celaan terhadap hikmah yang Alloh tetapkan. Padahal
Alloh itu Maha Bijaksana (Hakiim) yang mempertautkan sebab-sebab dengan
akibat-akibatnya. Seperti contohnya orang yang menyandarkan dirinya kepada
Alloh demi mendapatkan anak tapi tidak mau menikah.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah
orang yang paling hebat tawakalnya. Meskipun demikian beliau juga tetap
menjalani sebab. Beliau membawa perbekalan apabila hendak bepergian. Begitu
pula tatkala berangkat ke peperangan Uhud beliau mengenakan dua lapis baju
perang (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Demikian juga ketika berangkat untuk
berhijrah beliau juga memilih orang sebagai penunjuk jalan (HR. Bukhari) dan
beliau tidaklah mengucapkan, “Saya mau berangkat berhijrah dan akan bersandar
kepada Alloh, tanpa mencari teman untuk menunjukkan jalan bersamaku”. Dan
beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam juga menjaga tubuhnya dari sengatan panas
dan dinginnya cuaca. Dan tidaklah itu semua mengurangi tawakal yang ada pada
diri beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ada sebuah kisah yang menceritakan bahwa di
masa Umar rodhiallohu ‘anhu pernah ada sekelompok orang Yaman yang berangkat haji
tanpa membawa perbekalan. Maka mereka pun dipanggil untuk menghadap Umar.
Kemudian Umar menanyai mereka. Mereka mengatakan, “Kami adalah orang-orang yang
bertawakal kepada Alloh”. Maka Umar menimpali, “Kalian bukan termasuk orang
yang bertawakal. Tetapi kalian adalah orang yang pura-pura tawakal”.
Tawakal merupakan setengah dari agama Islam.
Oleh sebab itulah kita senantiasa mengucapkan doa di dalam sholat kita,
“Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”. Hanya kepada Engkau kami beribadah dan
hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan. Kita meminta pertolongan kepada
Alloh karena kita bersandar kepada-Nya, karena kita yakin hanya Dialah yang
mampu membantu kita dalam upaya beribadah kepada-Nya. Alloh ta’ala juga
memerintahkan,
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا
تَعْمَلُونَ
“Maka sembahlah Dia dan bertawakallah
kepada-Nya.” (QS Huud: 123)
Alloh juga membawakan perkataan salah seorang
Nabi-Nya,
عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Hanya kepada-Nya lah aku bertawakal dan
kembali taat.” (QS Huud: 88)
Dan tidak mungkin ibadah terwujud tanpa
adanya tawakal. Karena apabila seorang manusia dibiarkan untuk mengurusi
dirinya sendiri dan ditelantarkan maka sesungguhnya dia telah disandarkan
kepada sifat kelemahan dan ketidakmampuan. Sehingga dia tidak akan bisa tegar
menjalani ibadah.
Apabila seorang hamba beribadah kepada Alloh
dengan disertai perasaan sedang bersandar dan bertawakal kepada Alloh maka
sesungguhnya dia akan mendapatkan pahala atas ibadahnya tersebut dan pahala
atas tawakalnya. Akan tetapi fenomena yang banyak menimpa kita adalah terlalu
lemahnya tawakal. Sehingga apabila beribadah atau menjalani kebiasaan kita
tidak merasa sedang bersandar dan bergantung kepada Alloh sehingga perbuatan
kita itu bisa terlaksana. Bahkan sebagian besar dari kita biasanya terlalu
mengandalkan cara dan sebab lahiriah, dan lupa terhadap apa yang ada dibalik
itu semua. Maka hilanglah pahala yang sangat besar dari kita, yaitu pahala
bertawakal. Demikian pula halnya tatkala kita tidak mendapatkan taufik untuk
bisa meraih keinginan dan menghindar dari sesuatu yang tidak kita inginkan.
Baik hal itu terjadi karena adanya penghalang yang membuat keinginan kita itu
tidak terwujud sama sekali atau berkurang nilainya. Maka kita pun lupa untuk kembali
menyandarkannya kepada Alloh Ta’ala.
Macam-Macam Tawakal
Tawakal itu ada tiga macam:
(1) Tawakal ibadah dan ketundukan.
(2)
Bergantung kepada seseorang dalam masalah rezeki dan urusan dunia lainnya.
(3)
Menyerahkan urusan kepada seseorang yang dia percayai.
Pertama: Bertawakal yang dinilai ibadah dan
ketundukan.
Yaitu bergantung sepenuhnya kepada sesuatu
yang disandari. Sehingga di dalam hatinya terdapat keyakinan bahwasanya di
tangan sesuatu itulah kekuasaan untuk mendatangkan kemanfaatan dan menolak
mudharat. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk bertawakal kepadanya dengan
sepenuh hati. Maka tawakal yang seperti ini hanya diperbolehkan ditujukan
kepada Alloh ta’ala. Barang siapa yang memalingkannya kepada selain Alloh maka
dia adalah musyrik dengan kategori syirik akbar. Sebagaimana yang terjadi pada
orang-orang yang bergantung kepada orang-orang shalih yang sudah mati atau yang
tidak hadir (tidak bisa berkomunikasi dengannya). Hal semacam ini tidak mungkin
terjadi tanpa adanya keyakinan bahwa mereka itu memiliki kemampuan tersembunyi
untuk turut campur dalam mengatur perjalanan kejadian di alam semesta, sehingga
adanya keyakinan itu membuat mereka bergantung dan bersandar kepada mereka
(orang-orang shalih atau wali) demi mencapai manfaat dan menolak bahaya.
Kesimpulannya tawakal jenis pertama ini syirik akbar jika ditujukan kepada
selain Alloh.
Kedua: Bergantung kepada seseorang dalam
masalah rezeki dan urusan dunia lainnya.
Yang semacam ini tergolong perbuatan syirik
ashghar (syirik kecil). Ada pula ulama yang mengatakan bahwa ia termasuk jenis
syirik khafi (syirik yang samar-samar). Seperti contohnya kebanyakan orang yang
terlalu menyandarkan hatinya terhadap mata pencaharian yang digelutinya dalam
rangka mendapatkan rezeki. Sehingga anda akan bisa menemukan keadaan orang
semacam ini merasa bahwasanya dirinya sangat bersandar dan begitu membutuhkan
bos, direktur, majikan atau juragan yang mempekerjakannya dan dia meyakini
bahwasanya mereka itu bukan sekedar sebagai sebab datangnya rezeki saja, akan
tetapi lebih dari itu. Kesimpulannya tawakal jenis kedua ini adalah syirik
ashgar. Dan dosa syirik ashghar itu lebih berat jenisnya daripada dosa maksiat.
Ketiga: Mewakilkan kepada orang lain dalam
melaksanakan sesuatu keperluan.
Seperti meminta orang lain untuk membelikan
suatu barang, maka yang seperti ini tidak mengapa. Karena pada hakikatnya dia
hanya sekedar menyerahkan urusan kepada orang lain dalam keadaan dia berada di
posisi yang lebih tinggi dari orang yang dimintai tolong, sehingga ia pun
menjadikan orang lain itu sebagai wakil darinya. Hal ini sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tatkala menunjuk Ali bin Abi
Thalib rodhiallohu ’anhu untuk menyembelih sisa hewan kurban beliau (HR.
Muslim), begitu pula ketika beliau mewakilkan pengurusan sedekah/zakat kepada
Abu Hurairah (HR. Bukhari secara mu’allaq) dan contoh yang lainnya. Sehingga
kesimpulannya tawakal semacam ini atau disebut juga tindakan mewakilkan adalah
perbuatan yang boleh-boleh saja dilakukan.
Di dalam ayat di atas Alloh mewajibkan kita
untuk bertawakal hanya kepada-Nya. Yaitu pada tawakal jenis yang pertama dan
kedua. Ayat di atas juga menunjukkan bahwasanya tawakal merupakan salah satu
konsekuensi atau syarat keimanan. Karena di dalam ayat tersebut Alloh berfirman
yang artinya, “…bertawakallah kepada Alloh jika kalian benar-benar beriman.”
Dengan demikian orang yang bertawakal kepada selain Alloh maka dia berada dalam
salah satu di antara dua keadaan:
Pertama, kehilangan kesempurnaan iman yang
hukumnya wajib ada, karena terjerumus dalam syirik ashghar.
Kedua, atau dia telah kehilangan seluruh
keimanan, karena terjerumus dalam syirik akbar. Wallohul musta’aan. (disadur
dari Al-Qaulul Mufid, 2/28-30)